Proses Belajar Langsung di Alam
Mengikuti perjalanan belajar siswa SMA K St. Louis Surabaya
di Yogyakarta
Sin Lui, begitu nama
kerennya. Nama sebenarnya adalah SMA K St. Louis. Sekolah Katolik yang dikenal
dengan coraknya yang meneladani Vincentius,hamba Tuhan yang sangat
memperhatikan kaum miskin.
Sekolah ini memiiki visi yang
menekankan pendidikan yang menumbuhkan pribadi vinsensian yang utuh, yaitu yang
beriman mendalam, unggul dalam budi pekerti dan keilmuan, kreatif serta peduli
pada sesama, terutama yang miskin dan lemah.
Untuk mewujudkan visi sekolah itulah selalu diupayakan proses
pembelajaran yang seimbang dalam
akademis maupun non akademisnya.
Bahkan proses Belajar di kelas diusahakan untuk mewujudkan cita-
cita tersebut, tentunya melalui proses belajar yang lebih mengena.
Belajar langsung dari Alam
Salah satu upaya untuk mewujudkan visi tersebut adalah proses
pembelajaran yang langsung dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Siswa diajak
untuk mengamati secara langsung, bahkan mengalami sendiri satu sisi kehidupan
masyarakat dan seluruh aspek sosialnya.
Kali ini pilihan jatuh pada kota Yogyakarta , kota
Pendidikan yang sarat dengan kecantikan budayanya lengkap dengan kehidupan
pedesaan yang masih alami.
Kemudian dirancanglah sebuah perjalanan dengan harapan selama
beberapa hari akan menjadi peristiwa yang sangat berkesan bagi para siswa dan
menorehkan kenangan yang berguna bagi kehidupannya kelak.
Dan jadilah konsep perjalanan dimana siswa akan belajar tentang
seni, budaya, ekonomi,geografi dan banyak hal melalui obyek wisata Yogyakarta, sekaligus mendalami sosiologi masyarakat
pedesaan dengan menginap di sebuah desa dalam beberapa hari.
Perjalanan pembelajaran
Sebuah perjalanan pembelajaran dimulai.
Beraneka gambaran muncul membayangkan suasana pedesaan.
Dan para siswa pun saling lontarkan pernyataan akan berbagai
kemungkinan yang terjadi. Nampaknya mereka benar-benar menikmat perjalanan.
Selepas perjalanan dari Surakarta,
sudah terasa hawa budaya yang khas. Bentuk bangunan dan kegiatan masyarakat
yang terlihat. Nampak pengendara sepeda berlalu lalang di sisi tepi jalan.
Laki-laki, perempuan, tua muda, bahkan nampak seorang Nenek dengan masih
mengenakan jaritnya bisa mengendarai sepeda.Tentunya pemandangan ini tidak akan
didapatkannya di Surabaya.
Perjalanan terus saja berlanjut.
Kali ini Candi Prambanan menantang setiap peserta untuk menyelami.
Begitu sampai di pelataran candi, para siswa langsung berhamburan
mencari informasi.Sebagaian siswa langsung menjumpai petugas Candi untuk mendapatkan
berbagai informasi, sebagian yang lain bekeliling mengambil gambar dan
mempelajari bentuknya.
Mereka belajar langsung pada tempatnya, ada kepuasan yang
terpancar.Kadang wajah yang serius menyimak tetapi terkadang tawa berderai
menghiasi suasana itu.
Ini baru obyek pertama.
Masih banyak pembelajaran lain yang menanti.
Para Guru yang menemani “hanya” melihat dengan jarak, karena
siswa-siswi begitu bebas belajar, dan mereka sudah mendapatkannya.
Obyek pembelajaran langsung
Perjalanan lebih seru dialami ketika mereka sampai di desa.
Suasana akrab langsung menyambutnya. Hujan rintik tidak mengurangi
rasa kekeluargaan itu.
Bahkan lebih berasa.
Peserta langsung dibagi dalam kelompok, dan bersama para pemuda yang siap memandu mereka diantar ke homestay-nya
masing-masing.
Disinilah babak baru benar-benar dimulai.
Bagaimanapun keadaan homestay-nya, mereka harus terima.
Bahkan dari pendapat beberapa siswa rasanya lebih terasa belajarnya
apabila mendapatkan rumah yang lebih sederhana.
Ada beberapa siswa yang kebetulan mendapatkan rumah sederhana, semula
mengeluhkan kondisi rumah dengan kamar
yang tidak berpintu, kamar mandi di luar rumah , banyak nyamuk dan berbagai
kesulitan yang lain. Di akhir perjalanan justru dia yang banyak menceritakan
kesan indahnya.
Para siswa
dihadapkan pada berbagai aspek sosial yang ada. Bahkan budaya dan kehidupan
religiusnya.
Malam itu mereka menyaksikan kesenian Tradisional “Jathilan”
Adalah diluar dugaan kalau ternyata mereka begitu antusias
menikmati. Meskipun sedikit takut-takut melihat beberapa pemain “kesurupan”
namun keinginan untuk lebih mengetahui kesenian itu begitu besarnya.
Bahkan pada malam esok
harinya yang semestinya tidak ada lagi pertunjukan “Jathilan” atas permintaan siswa
diadakan lagi pertunjukan itu.
Bersama Pak Tani
di Pagi hari
Hari masih sangat pagi.
Embun pun masih bergelayut diantara daun-daun.
Nampak Burung blekok dan kuntul yang menjadi ciri khas desa ini,
berlompatan dari dahan ke dahan.
Para siswa
peserta live-in sedang dalam perjalanan ke sawah.
Agendanya di hari kedua ini adalah mengikuti upacara menanam padi.
Sambil menikmati perjalanan yang hijau. Siswa-siswi mengabadikan
burung-burung itu yang sebentar lagi akan terbang mencari makan di sawah-sawah.
Burung ini memakan ikan dan anak-anak katak di sawah.Tidak ada
seorang penduduk pun yang merasa terganggu, bahkan mereka adalah
sahabat-sahabatnya. Itulah yang membuat bagaimana burung-burung itu begitu
kerasan dan tidak meninggalkan desa ini.
Dan burung-burung inilah yang akhirnya menjadi salah satu potensi
desa.
Sampai di sawah, lumpur sudah menanti.
“Bu, didalam ada cacingnya ya ?” seorang siswa menunjuk sawah dengan
wajah ragu.
“O,ya. Ada
cacing,ada katak, ada lintah…hi….”.sang Guru menggoda.
Tetapi rupanya sang anak sudah lupa dengan cacing ketika melihat
seorang temannya menghela sapi menjalankan luku dan garu. Suatu alat untuk
menggemburkan dan membalik tanah yang
ditarik dua ekor sapi.
Asyik juga.
Akhirnya dua pematang sawah itu dipenuhi anak-anak yang mencoba
menjalankan “luku” dan “garu”.
Tidak ada lagi yang jijik bahkan takut kotor. Mereka sudah
melupakannya.
Yang ada hanyalah keinginan untuk menjadi “petani-petani” baru.
Saat menanam padi tiba. Siswa berjajar untuk mencoba menanam.
Wajah-wajah ceria menghiasi sawah.
Semua berlomba untuk mencoba.
Acara ini diakhiri dengan selamatan untuk memohon kepada Tuhan hasil
panen yang berlimpah.dan ditutup dengan
makan bersama di pinggir sawah.
Ada kelelahan, namun rona belajar mengalahkannya.
Bahkan ketika mereka bertanya, “Berapa yang Ibu dapatkan dari ini
semua?”
Ketika seorang Ibu menjawab perkiraan nominal, nampak mereka
terhenyak.
“Jangan khawatir Bu, nanti berasnya saya borong…” semua tertawa.
Jawaban siswa ini begitu polosnya. Namun nampak bahwa dia sedang
belajar sesuatu. Ada
sebuah nilai yang mereka dapatkan.
Semoga tidak hilang begitu saja.
Ada yang menarik ketika dalam
perjalanan pulang dari sawah.
Seorang siswa menyaksikan penduduk desa sedang memandikan sapi, lalu
dia bergabung. Diambilnya ember dan gayung. Diusap-usapnya tubuh sapi.
Hari ini ada seorang anak yang belajar memandikan sapi, padahal dia
sendiri belum mandi….ah…jayus….
(istilahnya arek Sin Lui untuk yang tidak lucu)
Pulang dari sawah semua siswa mampir di beberapa rumah penduduk untuk
menyaksikan membuat emping.
Kebetulan di desa ini banyak pohon belinjo, yang buahnya merupakan
bahan untuk membuat emping.
Puas membuat emping mereka pulang ke rumah penginapannya
masing-masing, mandi dan bersiap-siap untuk kemudian belajar di kota Gedhe .
Banyak yang mereka pelajari.Beberapa tujuan pembelajaran lain antara
lain:Kasongan, Keteb. Gereja Ganjuran dan Pantai Baron.
Hasil pembelajaran
Sebagian dari kisah perjalanan ini cukup untuk bisa menggambarkan
bagaimana model belajar di alam ala Sin Louis.
Di Setiap tempat mereka belajar dan membuat laporan.
Namun pada akhirnya laporan hanyalah sebagan kecil dari banyak hal
yang mereka dapatkan.
Meskipun mereka mempunyai tanggungjawab besar untuk mempresentasikan
laporannya dalam sebuah seminar, namun secara global bisa dikatakan bahwa itu
bukanlah centre point dari keseluruhan kegiatan ini.
Ada banyak hal yang tidak tertuang dalam laporan, namun memiliki tempat
tersendiri di ruang hati mereka masing-masing.
Proses pembelajaran bergulir begitu saja.
Nilai yang berupa angka pada laporan pada akhirnya menjadi kegiatan
kognitif semata.
Mereka belajar tentang bagaimana saudaranya yang petani hidup.
Tentang arti sosialitas. Bagaimana para penduduk merasa aman dan
nyaman di desa sehingga tidak lagi membutuhkan pagar berpintu di setiap
rumahnya.
Rasa percaya penduduk pada setiap tamu. Mereka tinggal serumah
dengan tamu tanpa curiga sedikitpun. Fasilitas rumah digunakan bersama. Kamar
merekapun sebagian tidak berpintu.
Amboi…adakah suasana ini di perkotaan?
Nyatalah bahwa saling percaya,menjaga dan penuh keujujuran
benar-benar menjadi modal hidup yang
besar.
Dalam
bidang Seni, para siswa diajak untuk melihat langsung bagaimana proses
penciptaan sebuah karya.
Rasa kagum dan apresiasi muncul tanpa diminta.
Ada pesona yang terpancar ketika tangan-tangan terampil sedang mengolah
tanah liat untuk dijadikan guci dan berbagai benda gerabah lainnya di Kasongan.
Kekaguman itu tidak sirna begitu saja, karena sampai di Kota Gedhe,
kembali mereka dihadapkan pada sebuah karya yang tak kalah indahnya. Kerajinan
Perak. Dimana semua proses dilakukan dengan tangan secara manual .
Ketika keesokan harinya peserta diajak ke Keteb,Magelang untuk belajar tentang gunung.para siswa pun dengan
sukarela mau menggali informasi dan menyaksikan visualisasinya
Rasanya tidak rugi mengajak anak-anak ke sini. Karena banyak hal
yang mereka dapatkan sekaligus disinkronkan dengan materi yang sudah diterima
di kelas.
Demikianlah, satu per satu obyek dikunjungi.
Saat sore , malam, hingga pagi hari para peserta belajar di desa.
Suara jangkrik, kodok dan binatang malam menghiasi suasana.
Dan saat acara berakhir, kenangan menjadi begitu indahnya.
Nampak beberapa siswa berpamitan dengan induk semangnya
masing-masing. Saling memberikan kenang-kenangan.
Yang ini di luar agenda acara.Menunjukkan betapa mereka belajar.
Menghargai dan mencintai sesama adalah salah satu tujuan kegiatan
ini.
Rasanya itu sudah tercapai
Tak akan berhenti. Kegiatan ini akan terus berlanjut.
Karena SMA K St. Louis I Surabaya tidak akan berhenti membentuk jiwa-jiwa yang Vincensian.
Viva Sin Lui..
Paulina Soesri Handajani