SEKOLAH SEBAGAI PELETAK DASAR PERKEMBANGAN SISWA
Model pendidikan yang bagaimanakah yang cocok untuk generasi muda saat ini ?
Pertanyaan itulah yang sering muncul di benak saya saat saya mengamati tingkah laku para pemuda .
Membolos Sekolah,mencontek,membohongi guru dan orang tua,berpacaran di luar batas dan berbagai tingkah laku”menyimpang” yang tentu saja tidak bisa dibenarkan.
Terkadang rasa ngeri begitu kuat merengkuh kepala saya.
Bagaimana tidak?
Saya memiliki seorang “cowok” yang sedang tumbuh, yang memerlukan lingkungan yang baik sebagai bentuk keteladanan.
Namun lingkungan mengajarkan lain.
Sepertinya sebagian masyarakat sudah terbiasa melihat perbuatan “menyimpang” para pemuda . Oleh sebagian pemuda pun “juvenile delinquency” ini terkadang dianggap sebagai sebuah petualangan. Amboi!
Menjadi seperti apakah anakku nanti?
Sekolah yang manakah yang paling baik untuk anakku ?
Sering saya bertanya-tanya,”Sebenarnya, apa sajakah yang sudah diberikan di Sekolah, sehingga muda mudi penerus bangsa ini menjadi demikian bebasnya?”
Apakah ini dampak dari “Democracy and Education”-nya John Dewey?
Ataukah sekolah yang keliru menerapkannya ?
Saya memahami bahwa dalam demokrasi pendidikan, Siswa diberi keleluasaan sepenuhnya untuk berekspresi,untuk memahami dengan bahasanya sendiri dan belajar menurut pola-polanya sendiri.
Tetapi hendaknya demokrasi tidak diartikan sebagai keleluasan yang tanpa batas.
Sebuah lukisan ekspresionispun masih mempertahankan kekhasan bentuk objek
Lukisan abstrak sekalipun ,harus tetap memiliki konsep.
Lalu konsep pendidikan seperti apa yang sebaiknya diterapkan ?
Ada sebuah pertanyaan.
Fenomena apa yang bisa kita tangkap ketika demi menegakan demokrasi,para guru menjadi tidak berdaya melihat para murid datang pagi-pagi ke Sekolah untuk copy paste ( baca:mencontek ) take home milik temannya?
Atau melihat murid melompati pagar sekolah saat jam belajar masih berlangsung?
Atau melihat murid mencontek jawaban temannya saat tes ?
Atau berbagai “petualangan rahasia” murid seperti ; merokok,berpacaran diluar etika,mabuk,dan sebagainya.
Juvenile delinquency semacam ini memang bukan kenakalan pemuda yang bisa dipidanakan,karena bukan kejahatan kriminal. Namun dampaknyalah yang membuat saya menganggap kenakalan ini sebagai “dasar dari banyak kejahatan “
Saya jadi berpikir barangkali terkadang sedikit “kemiliteran” bisa mengendalikannya.
Peraturan yang menegakkan kedisiplinan sangat diperlukan, diimbangi dengan keteladanan di lingkungan sekitar .
Setiap sekolah pasti memiliki peraturan-peraturan yang harus dijalankan. Kalau tidak, maka sanksi akan menanti.
Dan apabila dijalankan maka murid akan mendapatkan penghargaan.
Peraturan akan efektif apabila betul betul dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab tanpa henti, terus berkelanjutan,tanpa pandang bulu.
Diharapkan untuk tidak sering mengeluarkan “kebijaksanaan” seiring dengan pelaksanaan peraturan. Karena pada umumnya kebijaksanaan akan muncul seiring dengan pelanggaran terhadap peraturan itu sendiri.
Tata tertib sekolah akan menjadi suatu tindakan preventif apabila benar-benar dilaksanakan.
Bagaimana sekolah bisa memberikan dasar-dasar bagi kelangsungan hidup generasi muda.
Bagaimanakah kejujuran dalam sekolah diterapkanTentunya dengan memberikan contoh-contoh yang baik, dimana seluruh komponen pendidikan melakukan semua tanggungjawab dengan penuh kejujuran.Pelanggaran atas apapun sudah pasti mendapatkan respon yang efektif
Saya pernah melihat pemandangan siswa mencontek saat Ulangan Umum. Kemudian guru pengawas memberinya tanda. Sesuai peraturan, siswa tersebut semestinya mendapatkan nilai 0( nol).Namun kenyataan sekolah tidak berdaya.Yang paling mungkin, siswa ini “hanya”mendapatkan sangsi dan teguran.
Dalam pengandaian saya, apabila peraturan ini benar diterapkan, kecil kemungkinan siswa berani mencontek.
Disinilah ketegasan benar-benar diperlukan.
Sebagai seorang Ibu, bagian dari masyarakat yang mendambakan perkembangan terbaik anak-anaknya, saya berharap bahwa sekolah dan pendidikan pada umumnya mampu mengatasi persoalan-persoalan mendasar ini.
Bagaimanapun Pendidikan anak harus terkonsep secara jelas. Semua ini akan tergambar dari bagaimana sekolah bisa mengendalikan tingkah laku murid-muridnya.
Dalam hal ini saya sependapat dengan teori Circulair Reastion-nya Mark Baldwin bahwa perkembangan sebagai proses sosialisasi adalah dalam bentuk imitasi yang berlangsung dengan adaptasi dan seleksi.
Dengan demikian keteladanan secara terus menerus akan berdampak positif bagi perkembangan jiwa anak muda.
Saya melihat beberapa sekolah yang telah berhasil merealisasikan kedisiplinan sebagai suatu kebiasaan yang dijalankan tampak lebih mudah mengendalikan tingkah laku murid-muridnya.
Logikanya apabila seseorang berada pada kawasan yang bersih, maka siapapun yang ada di dalamnya akan “sungkan” untuk membuang sampah sembarangan.
Demikian juga dalam kediplinan, apabila Guru dan seluruh karyawan sekolah memberi contoh disiplin, maka para murid pun akan sungkan untuk menentang kedislipinan.
Untuk mencapai itu semua tentu bukan hal yang mudah karena butuh perjuangan dan dedikasi.
Namun bukankah profesi guru memang harus bisa melakukan itu semua ?
Jangan lupa bahwa guru punya tanggungjawab besar dalam meletakkan dasar-dasar bagi kehidupan para muridnya.
Meski disadari atau tidak profesi guru sudah mengalami pergeseran yang luar biasa juga.
Maka hendaknya konsep pendidikan pun harus dikembalikan pada hirarki pendidikan itu sendiri.
Persoalan-persoalan pendidikan yang semakin kompleks hendaknya tidak merubah profesi guru dan konsep pendidikan menjadi materialistis.
Hal ini sudah mulai bisa dirasakan bagaimana demokrasi pendidikan yang terjadi tidak sejalan seperti yang diharapkan Dewey.
Bisa diambil contoh yang kongkrit, apabila profesi guru benar-benar dijalankan dengan penuh tangungjawab, semestinya tidak diperlukan lagi adanya les privat. Karena pengajaran di Sekolah sudah benar-benar mampu mencapai tujuan yang diharapkan.Apalagi dengan adanya peluang remedial pada kurikulum saat ini.
Dalam hal ini apakah Les di luar sekolah merupakan bentuk demokrasi pendidikan ?
Membolos, berbohong,mencuri,mencontek,berkelahi dan sebagainya yang dilakukan dalam skala kecil sekalipun termasuk “conduct disorder” yang harus segera diatasi. Karena menurut saya itu semua tidak termasuk dalam petualangan demokrasi pendidikan.
Tidak pernah ada kata terlambat untuk melakukan perbaikan.
Saya, seorang Ibu dengan satu ‘cowok” yang sedang tumbuh, memiliki harapan besar akan kembalinya konsep pendidikan sejati, agar terkikis rasa kawatir akan perkembangan jiwa para anak muda.
Model pendidikan yang bagaimanakah yang cocok untuk generasi muda saat ini ?
Pertanyaan itulah yang sering muncul di benak saya saat saya mengamati tingkah laku para pemuda .
Membolos Sekolah,mencontek,membohongi guru dan orang tua,berpacaran di luar batas dan berbagai tingkah laku”menyimpang” yang tentu saja tidak bisa dibenarkan.
Terkadang rasa ngeri begitu kuat merengkuh kepala saya.
Bagaimana tidak?
Saya memiliki seorang “cowok” yang sedang tumbuh, yang memerlukan lingkungan yang baik sebagai bentuk keteladanan.
Namun lingkungan mengajarkan lain.
Sepertinya sebagian masyarakat sudah terbiasa melihat perbuatan “menyimpang” para pemuda . Oleh sebagian pemuda pun “juvenile delinquency” ini terkadang dianggap sebagai sebuah petualangan. Amboi!
Menjadi seperti apakah anakku nanti?
Sekolah yang manakah yang paling baik untuk anakku ?
Sering saya bertanya-tanya,”Sebenarnya, apa sajakah yang sudah diberikan di Sekolah, sehingga muda mudi penerus bangsa ini menjadi demikian bebasnya?”
Apakah ini dampak dari “Democracy and Education”-nya John Dewey?
Ataukah sekolah yang keliru menerapkannya ?
Saya memahami bahwa dalam demokrasi pendidikan, Siswa diberi keleluasaan sepenuhnya untuk berekspresi,untuk memahami dengan bahasanya sendiri dan belajar menurut pola-polanya sendiri.
Tetapi hendaknya demokrasi tidak diartikan sebagai keleluasan yang tanpa batas.
Sebuah lukisan ekspresionispun masih mempertahankan kekhasan bentuk objek
Lukisan abstrak sekalipun ,harus tetap memiliki konsep.
Lalu konsep pendidikan seperti apa yang sebaiknya diterapkan ?
Ada sebuah pertanyaan.
Fenomena apa yang bisa kita tangkap ketika demi menegakan demokrasi,para guru menjadi tidak berdaya melihat para murid datang pagi-pagi ke Sekolah untuk copy paste ( baca:mencontek ) take home milik temannya?
Atau melihat murid melompati pagar sekolah saat jam belajar masih berlangsung?
Atau melihat murid mencontek jawaban temannya saat tes ?
Atau berbagai “petualangan rahasia” murid seperti ; merokok,berpacaran diluar etika,mabuk,dan sebagainya.
Juvenile delinquency semacam ini memang bukan kenakalan pemuda yang bisa dipidanakan,karena bukan kejahatan kriminal. Namun dampaknyalah yang membuat saya menganggap kenakalan ini sebagai “dasar dari banyak kejahatan “
Saya jadi berpikir barangkali terkadang sedikit “kemiliteran” bisa mengendalikannya.
Peraturan yang menegakkan kedisiplinan sangat diperlukan, diimbangi dengan keteladanan di lingkungan sekitar .
Setiap sekolah pasti memiliki peraturan-peraturan yang harus dijalankan. Kalau tidak, maka sanksi akan menanti.
Dan apabila dijalankan maka murid akan mendapatkan penghargaan.
Peraturan akan efektif apabila betul betul dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab tanpa henti, terus berkelanjutan,tanpa pandang bulu.
Diharapkan untuk tidak sering mengeluarkan “kebijaksanaan” seiring dengan pelaksanaan peraturan. Karena pada umumnya kebijaksanaan akan muncul seiring dengan pelanggaran terhadap peraturan itu sendiri.
Tata tertib sekolah akan menjadi suatu tindakan preventif apabila benar-benar dilaksanakan.
Bagaimana sekolah bisa memberikan dasar-dasar bagi kelangsungan hidup generasi muda.
Bagaimanakah kejujuran dalam sekolah diterapkanTentunya dengan memberikan contoh-contoh yang baik, dimana seluruh komponen pendidikan melakukan semua tanggungjawab dengan penuh kejujuran.Pelanggaran atas apapun sudah pasti mendapatkan respon yang efektif
Saya pernah melihat pemandangan siswa mencontek saat Ulangan Umum. Kemudian guru pengawas memberinya tanda. Sesuai peraturan, siswa tersebut semestinya mendapatkan nilai 0( nol).Namun kenyataan sekolah tidak berdaya.Yang paling mungkin, siswa ini “hanya”mendapatkan sangsi dan teguran.
Dalam pengandaian saya, apabila peraturan ini benar diterapkan, kecil kemungkinan siswa berani mencontek.
Disinilah ketegasan benar-benar diperlukan.
Sebagai seorang Ibu, bagian dari masyarakat yang mendambakan perkembangan terbaik anak-anaknya, saya berharap bahwa sekolah dan pendidikan pada umumnya mampu mengatasi persoalan-persoalan mendasar ini.
Bagaimanapun Pendidikan anak harus terkonsep secara jelas. Semua ini akan tergambar dari bagaimana sekolah bisa mengendalikan tingkah laku murid-muridnya.
Dalam hal ini saya sependapat dengan teori Circulair Reastion-nya Mark Baldwin bahwa perkembangan sebagai proses sosialisasi adalah dalam bentuk imitasi yang berlangsung dengan adaptasi dan seleksi.
Dengan demikian keteladanan secara terus menerus akan berdampak positif bagi perkembangan jiwa anak muda.
Saya melihat beberapa sekolah yang telah berhasil merealisasikan kedisiplinan sebagai suatu kebiasaan yang dijalankan tampak lebih mudah mengendalikan tingkah laku murid-muridnya.
Logikanya apabila seseorang berada pada kawasan yang bersih, maka siapapun yang ada di dalamnya akan “sungkan” untuk membuang sampah sembarangan.
Demikian juga dalam kediplinan, apabila Guru dan seluruh karyawan sekolah memberi contoh disiplin, maka para murid pun akan sungkan untuk menentang kedislipinan.
Untuk mencapai itu semua tentu bukan hal yang mudah karena butuh perjuangan dan dedikasi.
Namun bukankah profesi guru memang harus bisa melakukan itu semua ?
Jangan lupa bahwa guru punya tanggungjawab besar dalam meletakkan dasar-dasar bagi kehidupan para muridnya.
Meski disadari atau tidak profesi guru sudah mengalami pergeseran yang luar biasa juga.
Maka hendaknya konsep pendidikan pun harus dikembalikan pada hirarki pendidikan itu sendiri.
Persoalan-persoalan pendidikan yang semakin kompleks hendaknya tidak merubah profesi guru dan konsep pendidikan menjadi materialistis.
Hal ini sudah mulai bisa dirasakan bagaimana demokrasi pendidikan yang terjadi tidak sejalan seperti yang diharapkan Dewey.
Bisa diambil contoh yang kongkrit, apabila profesi guru benar-benar dijalankan dengan penuh tangungjawab, semestinya tidak diperlukan lagi adanya les privat. Karena pengajaran di Sekolah sudah benar-benar mampu mencapai tujuan yang diharapkan.Apalagi dengan adanya peluang remedial pada kurikulum saat ini.
Dalam hal ini apakah Les di luar sekolah merupakan bentuk demokrasi pendidikan ?
Membolos, berbohong,mencuri,mencontek,berkelahi dan sebagainya yang dilakukan dalam skala kecil sekalipun termasuk “conduct disorder” yang harus segera diatasi. Karena menurut saya itu semua tidak termasuk dalam petualangan demokrasi pendidikan.
Tidak pernah ada kata terlambat untuk melakukan perbaikan.
Saya, seorang Ibu dengan satu ‘cowok” yang sedang tumbuh, memiliki harapan besar akan kembalinya konsep pendidikan sejati, agar terkikis rasa kawatir akan perkembangan jiwa para anak muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar